Perskpknusantara.com, Tenggarong- Menjulang megah di jantung Kota Tenggarong, Museum Kayu tak hanya menjadi tempat memamerkan benda-benda bersejarah, tetapi juga berperan sebagai penjaga warisan panjang hutan Kalimantan. Sejak berdiri pada tahun 1994, museum ini telah menjadi saksi perjalanan budaya, kekayaan alam, serta kehidupan masyarakat Kutai Kartanegara hingga ke seluruh Benua Etam.

Menurut Sopyan Hadi, S.Sos, selaku Koordinator Museum Kayu, proses pengumpulan koleksi memakan waktu hingga dua tahun sebelum akhirnya museum dibuka secara resmi untuk publik pada 1996.

“Kami memang mengusung tema utama seputar jenis-jenis kayu. Namun, untuk menambah daya tarik pengunjung, kami juga menampilkan koleksi spesial, seperti dua ekor buaya yang dulunya diketahui pernah menyerang manusia,” ungkapnya pada Sabtu (26/04/2025).

Kedua buaya yang kini menjadi daya tarik tersendiri di Museum Kayu itu memiliki latar kisah yang menarik. Buaya jantan berusia sekitar 70 tahun berasal dari Sangatta, sedangkan yang betina berumur sekitar 60 tahun berasal dari Muara Badak. Keduanya ditangkap pada tahun yang sama, yaitu 1996, dengan selisih satu bulan. “Yang dari Sangatta diamankan pada bulan Maret, sementara yang dari Muara Badak pada April. Meski dari lokasi berbeda, keduanya punya kisah serupa—pernah memangsa manusia,” tutur Sopyan.

Walaupun keberadaan buaya awetan tersebut menyita perhatian para pengunjung, Sopyan menegaskan bahwa inti dari Museum Kayu tetap terletak pada kekayaan koleksi kayunya. Beberapa yang paling menonjol antara lain kayu ulin, yang dikenal sebagai raja kayu Kalimantan, serta kayu batu, yakni jenis kayu purba yang telah menjadi fosil alami.

Untuk menikmati koleksi dan atmosfer museum ini, pengunjung hanya perlu membayar tiket masuk yang sangat terjangkau: Rp10.000 untuk dewasa dan Rp5.000 untuk anak-anak, sesuai ketentuan Perda Nomor 1 Tahun 2024. Perhatian dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara terhadap keberlangsungan museum ini pun terus terjaga. Saat ini, pengelolaan Museum Kayu berada di bawah naungan Dinas Pendidikan, namun tetap mendapat dukungan dan pemantauan langsung dari Bupati Kutai Kartanegara.

“Dukungan dari Bupati masih terus berjalan. Meskipun pengelolaan dilakukan oleh Dinas Pendidikan, tetap ada koordinasi langsung dengan beliau,” ujar Sopyan.

Kini, Museum Kayu Tenggarong bukan hanya berfungsi sebagai tempat edukasi tentang ragam kayu endemik Kalimantan, tetapi juga menjadi ruang reflektif yang menggambarkan hubungan erat antara manusia dan alam. /Agus, melaporkan dari Tenggarong, Kaltim/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *