Perskpknusantara.com- Balikpapan, Kasus pengemplangan pajak yang melibatkan PT FK dan tersangka berinisial I bin HKA menjadi perhatian publik, terutama karena besarnya nilai kerugian negara yang mencapai Rp1.783.298.216. Kasus ini menggambarkan pentingnya pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut.

Direktur PT FK, berinisial I bin HKA, diduga melakukan tindak pidana perpajakan dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN dan/atau tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut. Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kanwil DJP Kaltimtara telah melimpahkan tersangka dan barang bukti dugaan tindak pidana perpajakan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Timur di Kejaksaan Negeri (Kejari) Balikpapan pada Kamis (14/11).

Pelimpahan tahap II ini dilakukan melalui Tim Korwas Ditreskrimsus Polda Kalimantan Timur. Berdasarkan keterangan yang diperoleh selama pemeriksaan, PT FK diketahui tidak menyampaikan SPT Masa PPN dan/atau tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut ke kas negara, meskipun telah memungut PPN dari lawan transaksi dengan menerbitkan Faktur Pajak.

Perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka I bin HKA diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar. Penanganan tindak pidana perpajakan ini merupakan sinergi antara Kanwil DJP Kaltimtara, Polda Kaltim, Kejati Kaltim, dan Kejari Balikpapan dalam mendukung upaya penegakan hukum serta memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada seluruh wajib pajak.

“Dalam menjalankan upaya penegakan hukum di bidang perpajakan, DJP mengutamakan asas ultimum remedium dengan memberikan kesempatan kepada setiap tersangka untuk membayar pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara, di atas primum remedium,” jelas Teddy Heriyanto.

Kanwil DJP Kaltimtara menegaskan penggunaan asas ultimum remedium, yang memberikan kesempatan kepada tersangka untuk melunasi pajak yang terutang sebelum kasus ini dilanjutkan ke proses pidana. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memprioritaskan pemulihan kerugian negara di atas penegakan hukum pidana.

Kasus ini menunjukkan pentingnya sinergi antara instansi terkait, termasuk DJP, Kepolisian, dan Kejaksaan, dalam menindak pelanggaran pajak untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum, sekaligus mengamankan penerimaan negara. /Edy Susanto, melaporkan dari Balikpapan, Kalimantan Timur/